Quantcast
Channel: Ocehan Ade Anita
Viewing all articles
Browse latest Browse all 722

Tatap Muka

$
0
0

 [Cerpen] 

Tatap Muka

(oleh : Ade Anita)

Jempol Bu Brata bergerak menggeser layar handphone agar isi berita yang tampil di layar berubah. Menelusuri satu demi satu isi obrolan yang tampil runut di grup chat. Mencari sebuah nama.

"Hei, mau sampai kapan sih asyik dengan hamdphonenya? Ini kenapa deh, yang jauh dicari yang dekat dicuekin." Pak Brata memperlihatkan wajah cemberut. Tapi ekspresi ini diacuhkan oleh Bu Brata. Bu Brata tahu, suaminya tidak benar-benar sedang marah. Protes iya, tapi marah tidak. 35 tahun menikahi lelaki, yang kini memiliki rambut tipis beruban dan separuh botak, membuat Bu Brata tahu kebiasaan suaminya. Pria bermata lembut itu selalu berusaha keras mengerti dirinya dan selalu punya segudang kata maaf dan maklum atas apapun yang Bu Brata lakukan.

"Ih, si papa. Aku lagi cari komentarnya Elsye. Kok dia sudah lama loh nggak ikutan kasih komen di grup alumni SD."

"Ya bisa saja kan dia lagi sibuk?" Pak Brata menjulurkan lehernya hingga kepalanya condong ke arah layar handphone istrinya. Matanya seakan berusaha untuk mencuri lihat percakapan di layar handphone. Tapi Bu Brata tahu, sekeras apapun usaha Pak Brata melirik tulisan di layar handphone di tangannya, besar kemungkinan Pak Brata tetap tidak bisa membacanya. Kedua mata lelaki berusia 65 tahun itu sudah ada kataraknya. Stadium 4 pula. Jadi, jika membaca harus benar-benar dekat dengan wajah baru bisa terlihat jelas.

“Sibuk apa sih pa? Semua cucunya bahkan sudah pada besar-besar kok. Jadi Elsye sudah pasti tidak ada kesibukan ngemong cucu lagi.”

“Siapa tahu sekarang dia sibuk ngemong cicit?”

“Ah. Nggak mungkin. Jalan juga sudah pakai tongkat kok. Biasanya, Elsye itu di grup chat whatsapp paling cerewet dan selalu punya bahan buat diobrolin. Si nenek lincah satu itu selalu punya bahan obrolan tentang hal-hal asyik. Cerita tanpa batas tentang banyak hal. Dari cerita tentang cucunya sampai cerita gossip artis dan ghibah politik. Komplit. Aneh rasanya sudah beberapa hari dia nggak muncul ngasi komen. Duh, jangan-jangan dia kenapa-kenapa ya Pa?” Aura cemas tergambar di wajah Bu Brata.

“Ya sudah, telepon saja langsung orangnya. Jangan nulis pesan saja.” Pak Brata kini mulai menghadapkan tubuhnya ke arah Bu Brata. Pak Brata tahu seberapa pentingnya arti teman bernama Elsye ini bagi istrinya. Mereka bersahabat sejak masih SD. Istrinya bercerita bahwa dulu dia sebangku dengan Elsye sejak naik ke kelas 4 SD. SMP memang berbeda tapi masih tetap berteman karena rumah keduanya tetanggaan. Terpisah ketika SMA karena Bu Brata dan Bu  Elsye sama-sama pindah kota ikut orang tua masing-masing. Tapi aplikasi facebook yang hadir di Indonesia di tahun 2008, mempertemukan keduanya. Dan ketika aplikasi whatsapp hadir beberapa tahun sesudahnya, dalam sekejap keduanya berhasil mengumpulkan teman-teman semasa Sekolah Dasar dalam satu grup obrolan. Generasi baby boomers seperti mereka memang termasuk generasi yang diuntungkan dengan tehnologi yang ditemukan oleh generasi milenial.

“Sudah, ini makanya pada ramai mempertanyakan kabar Elsye. Dihubungi nggak pernah bisa juga soalnya.”

“Jangan-jangan dia nggak ada kuota, makanya nggak bisa dihubungi?”

“Ih si Papa ngarang-ngarang aja. Elsye kan tinggal dengan anak sulungnya, Si Soni. Soni ini kata Elsye langganan paket IndiHome di rumahnya. Jadi dipakai buat dapat hiburan lengkap di televisi bisa, dipakai sekolah atau kerja juga bisa. Produk Telkom group loh. Internet keluarga yang mantap. Nah, Elsye kan kalau komunikasi sama kita-kita selalu lewat aplikasi. Jadi sudah pakai Wifi saja terus, jatah pulsa gratis dari paket IndiHome yang dia punya sering tidak terpakai gara-gara Wifinya wush wush kenceng lancar. Makanya Elsye selalu update dengan berbagai informasi. Sepi rasanya grup sekarang Elsye si nenek lincah nggak nongol beberapa hari.” Tangan Bu Brata yang masih memegang handphone terkulai lemas dan jatuh di atas pangkuannya. Pak Brata mengambil lengan itu dan mendekatkannya ke wajah Bu Brata.

“Ya sudah, sekarang mama gih telepon dia daripada lesu gitu. Kan kita juga pakai Wifi IndiHome. Namanya juga internetnya Indonesia.”

“Ah, papa tuh ngerti nggak sih? Semua orang sudah mencoba menghubungi Elsye, tapi teleponnya nggak diangkat.” Bu Brata menatap Pak Brata dengan wajah mulai kesal separuh putus asa.

“Hubungi anaknya coba. Atau cucunya. Masa mama nggak punya salah satu nomor anak atau cucunya? Ingat nggak, lima tahun lalu mama pernah mau bikin pesta kejutan ulang tahun ke 55 tahun buat Elsye jadi mama saling kontak-kontakan sama anak apa cucunya ya? Lupa papa.”

“Oh iyaaa.” Mata Bu Brata berbinar mendengar saran suaminya.

“Mama hampir lupa bahwa mama masih simpan nomor dokter Ayu, anaknya Elsye yang sekarang lagi ambil spesialis paru-paru.” Bibir Bu Brata berbicara tanpa melirik lagi ke suaminya. Matanya sibuk menelusuri daftar nama kontak di handphonenya. Setelah menemukan nama yang dicari, dia segera meneleponnya. Pak Brata hanya bisa menatap pemandangan berupa wajah istrinya yang berubah-ubah. Dari ekspresi ingin tahu, lalu perlahan berubah menjadi digayuti kekhawatiran. Istrinya terlihat mengangguk-angguk dengan lesu. Ada ketegangan di wajah istrinya. Setelah pembicaraan di telepon berakhir, barulah istrinya terlihat menitikkan air mata kesedihan.

“Pah, Elsye kena Covid. Aduh… kasihan Elsye, pa. Sudah tua, punya comorbid asma pula.” Pak Brata hanya bisa meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat. Tiba-tiba, telepon di tangan Bu Brata bordering lagi. Segera Bu Brata mengangkat teleponnya.

“Iya, iya …. wah… mau… mau. Apa? Tiga puluh menit lagi? Boleh…. Boleh. Saya kumpulkan teman-teman yang lain ya, Biar bisa zoom. Iya…. Siap.” Pak Brata tidak tahu apa isi pembicaraan itu. Dia hanya bisa menatap istrinya sambil menaikkan kedua alisnya ke atas memperlihatkan wajah yang sedang bertanya tanpa suara.

“Tadi si Ayu. Dia bilang, ibunya sepertinya kesepian di ruang isolasi pasien Covid. Nangis terus, kesepian mungkin, stress juga. Jadi, Ayu mau meloloskan gadget tablet yang bisa dipakai buat zoom oleh ibunya. Aku hubungi teman-teman grup dulu ya pa. Biar bisa zoom bareng menghibur Elsye. Aku saja yang jadi host zoom, internetku paling lancar dibanding internet teman-teman yang lain.” Pemandangan selanjutnya adalah kesibukan Bu Brata menghubungi teman-teman satu grup agar bersedia menerima panggilan zoom. Grup lansia ini hanya tersisa berlima sebenarnya, tapi hebohnya sudah mengalahkan mereka yang akan mengadakan kenduri massal saja. Pak Brata tahu, kapan saatnya dia harus memberi waktu bagi istrinya untuk bisa punya waktu bersama teman-temannya. Usia tua yang dimiliki oleh mereka berdua telah mengajarkan pada Pak Brata bahwa kebahagiaan itu, hadir lewat hal-hal sederhana. Bertemu teman misalnya. Mungkin di luar rumah sana, ada banyak penyakit yang mengintai para lansia, tapi internet dan tehnologi telah memecahkan dinding yang menghalangi terjadinya pertemuan tatap muka. Dengan tenang, Pak Brata berjalan menjauh dari Bu Brata dan mulai mengaktifkan aplikasi Youtube di handphonenya. Jadwal mendengarkan kajian pengajian mingguan sebentar lagi akan dimulai. Dia juga harus siap-siap mencari hiburan rohani lewat internet.



***


Viewing all articles
Browse latest Browse all 722

Trending Articles